Rabu, 17 September 2014

Mati menghadap tuhan

Kembali menyuguhkan sebuah karya bebas.

Wajah itu nampak. Jelas terpampang bagaikan surganya tuhan yang yang diciptakan ditengah perairan. Dingin didekatnya dan menenggelamkan jika tak mengerti akan pemahamannya. Bapak berada dibalik ibumu saat aku berenang. Aku mendengar cinta dalam hatimu, keras sekali seolah berlari menggunakan sayap. Kenapa ayam yang berkokok mampu mendapatkan pasangan sesukanya tanpa ada ruang larangan. Apakah karena kita manusia, maka kita harus serba etika? Pun dengan cinta etika yang tak boleh serupa kisah Rahwana menggapai Sinta.

Wajah itu tak lagi nampak. Etika bertambah seiring memudarnya cahaya yang aku pernah mengenalnya. Tak akan bisa menyamaratakan bulan dan matahari. Karena keduanya mendampingi bumi, akankah bulan mengisi seluruhnya hamparan bumi? Pasti hanya sebagian saja bulan mendapatinya, sedangkan ruang bagian sisanya adalah hampa bulan atau anti bulan yang bisa diisi oleh matahari, atau cahaya lain, atau mutlak dalam gelap.

Wajah itu samar-samar. Entah berapa lama kesamaran ini begitu kuat. Sungguh sejatinya ada, sungguh sejatinya mudah dibayangkan, sungguh sejatinya tak berada disisi kita. Aku yakin beberapa tahun pasti mengenangnya, karena beberapa tahun telah terlewati. Bisa jadi sepuluh tahun lagi, atau dua puluh tahun lagi, bahkan hingga berkedip mata ini tak lagi bisa kita kuasai, akankah rasa dan wajah samar tetap ada.

Wajah nampak, wajah tak lagi nampak, wajah samar-samar.
Mutiaraku, Cinta Dalam hatiku semua akan menjadi demikian.
Mati dan meninggal menghadap tuhan.

Ditulis oleh MazTa

Tidak ada komentar:

Pengunjung AgaSta Gantheng

free counters

Entri Populer Blog Ini